Ibnu Thufail


Ibnu Thufail mempunyai nama lengkap Abu Bakar bin Abdullah Malik bin Muhammad bin Thufail al-Qadisi al-Andalusi. Orang Barat biasa memanggil dengan sebutan 'Abubacer'. Beliau lahir pada dekade pertama abad ke-6 H/ke-12 M di Guandix, sebuah kota kecil di Spanyol kira-kira 60 km utara Granada dan termasuk keluarga dari suku Arab Qais. Setelah beranjak dewasa, Ibnu Thufail berguru kepada Ibnu Bajjah, seorang ilmuwan besar yang memiliki banyak keahlian. Di bawah bimbingan Ibnu Bajjah yang multitalenta, Ibnu Thufail berkembang menjadi seorang ilmuwan besar. Beliau adalah seorang filsuf, dokter, novelis, ahli agama, dan penulis. Beliau menguasai ilmu hukum dan ilmu pendidikan serta termasyhur sebagai seorang politikus ulung sekaligus filsuf Muslim paling penting kedua (setelah Ibnu Bajjah) di Barat.
Awalnya beliau adalah seorang yang ahli dalam bidang kedokteran dan menjadi terkenal di bidang tersebut. Ketenaran beliau sebagai seorang dokter membuatnya terkenal di dalam pemerintahan sehingga beliau diangkat sebagai sekretaris oleh Gubernur Granada. Kemudian beliau dipindah menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta. Nama beliau kian terkenal sehingga beliau diangkat oleh Abu Ya'qub Yusuf Al-Manshur, khalifah daulah Muwahhidin, menjadi dokter pribadi sekaligus sebagai wazir khalifah. Khalifah juga meminta Ibnu Thufail untuk menguraikan buku-buku Aristoteles. Kemudian beliau mengajukan Ibnu Rusyd, salah seorang muridnya yang sukses, untuk memenuhi tugas tersebut. Ibnu Rusyd diterima dengan baik oleh khalifah dan menunaikan tugasnya dengan baik. Ibnu Rusyd menggambarkan bagaimana Ibnu Thufail menginspirasinya untuk menunaikan tugas tersebut:


"Abu Bakr Ibnu Thufail mengundangku suatu hari dan berkata padaku bahwa beliau telah mendengar The Commander of the Faithful, Amir al-Mu'minin, mengeluhkan tentang cara penuturan Aristoteles yang terpotong-potong -mungkin karena penerjemah buku-bukunya- dan mengaburkan pandangannya. Beliau berkata bahwa jika seseorang mengambil bku-buku tersebut, meringkas, dan menerangkan tujuan-tujuan dari buku-buku tersebut, orang-orang akan lebih mudah untuk memahaminya. 'Jika kau mempunyai energi,' kata Ibnu Thufail padaku, 'kau lakukan itu. Aku yakin kau bisa karena aku tahu betapa bagus pikiran dan kesetiaan yang kau punya serta dedikasimu terhadap karya seni. Kau mengerti bahwa umur serta kepedulianku terhadap kantorku -dan komitmenku untuk tugas-tugas lain yang lebih penting- membuatku tidak bisa mengerjakan tugas tersebut.'"

Ibnu Rusyd menjadi penerus Ibnu Thufail setelah pensiun tahun 1882. Di bidang politik dan pemerintahan, beliau dipercaya menjadi pejabat di pengadilan Spanyol Islam. Selain itu Ibnu Thufail juga dipercaya Sultan Dinasti Muwahiddun untuk menduduki jabatan menteri hingga menjadi gubernur untuk wilayah Sabtah dan Tohjah di Magribi. Ketika usia beliau sudah lanjut, beliau meminta berhenti dari jabatannya. Meskipun sudah bebas dari jabatan, tapi penghargaan Abu Ya'kub masih seperti dulu bahkan setelah khalifah Abu Ya'kub meninggal dan diganti oleh putranya Abu Yusuf Al-Mansyur penghargaan tersebut masih diterima oleh Ibnu Thufail.

Karya
Ibnu Thufail sebenarnya mempunyai banyak karya baik dalam bidang filsafat maupun bidang yang lain (fisika dan sastra). Hasil karya beliau antara lain Risalah fi Asrar al-hikmah al-Masyriqiyah (Hayy Ibn Yaqzhan) Rasa'il fi an-Nafs, Biqa' al-Maskunnah wa Al-Ghair al-Maskunnah. Selain itu beliau juga memiliki beberapa buku tentang kedokteran serta risalah berisi kumpulan surat-menyurat yang beliau lakukan dengan Ibnu Rusyd dalam berbagai persoalan filsafat. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa Ibnu Thufail mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang dalam ilmu falak. Sayangnya semua hasil karya beliau tidak ada yang tersisa kecuali risalah Hayy ibn Yaqzhan.

Hayy ibn Yaqzhan (Alive, son of Awake)
Hayy ibn Yaqzhan dikenal dengan nama "Philosophus Autodidactus" di Barat. Pada bagian pendahuluan, Ibnu Thufail mempersembahkan beberapa pandangan dari para pendahulunya, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Ghazali, dan Ibnu Bajjah. Al Farabi dikritik keras tentang pandangannya yang tidak konsisten tentang alam akhirat. Tidak ada kritik tentang Ibnu Sina, sebaliknya diceritakan bahwa kebijaksanaan oriental Ibnu Sina akan diuraikan sepanjang sisa pekerjaannya. Pandangan Ibnu Bajjah dikatakan belum lengkap, menyebutkan tentang kondisi spekulatif tertinggi tetapi bukan kondisi diatasnya, yaitu "menyaksikan" atau pengalaman mistik. Sementara pengalaman mistik al Ghazali tidak diragukan lagi, tak satupun dari karya-karyanya tentang pengetahuan mistik telah dicapai oleh Ibnu Thufail. Pendahuluan tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan niat ibnu thufail yaitu elaborasi kebijaksanaan oriental Ibnu Sina dan menunjukkan bagaimana karyanya berbeda dari para pendahulunya.
Inti dari pemikiran Ibnu Thufail termuat dalam karyanya ini. Antara akal dan wahyu tidaklah memiliki kontradiksi yang begitu besar. Bahkan keduanya dapat memiliki satu visi dan tujuan yang sama tentang kebenaran. Dan juga akan memiliki titik keindahan bila keduanya dapat digabungkan. Bahwa jalan yang ditunjukkan oleh agama dapat diperoleh dengan intelektualitas manusia yang cenderung berhasrat untuk terus bertanya dan mencoba menjawab apa yang ada dan juga oleh wahyu yang dapat dijadikan petunjuk tetap menuju satu kebenaran. Keduanya sama-sama dapat menuju kebenaran, demikian pesan yang ingin disampaikan oleh Ibnu Thufail dalam karyanya Hayy Ibn Yaqdzan.
Dalam karyanya ini, Ibnu Thufail seperti merasa jengah dengan pertikaian 2 proyektor besar dalam proses pencarian kebenaran, filsafat, dan wahyu. Pertikaian yang diledakkan oleh al Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah nya menentang Ibnu Sina dan al Farabi yang fokus pada ajaran Aristotelian mereka. Pertikaian yang pada dasarnya ada pada ketidaksetujuan al Ghazali yang fokus pada 3 ajaran para filosof terutama Ibnu Sina dan al Farabi tentang keabadian alam, penolakan bangkitnya jasmani setelah mati, dan pengetahuan Tuhan yang universal. Ketiga hal ini yang benar-benar dianggap oleh al Ghazali sebagai penyalahgunaan rasio untuk menyelewengkan agama.
Pertikaian ini coba didamaikan Ibnu Thufail dengan mengatakan bahwa antara keduanya tidaklah jauh berbeda dalam memandang kebenaran yang sama, eksternal, dan internal. Pemahaman agama melalui wahyu dan pemahaman agama melalui nalar melihat kebenaran dari sisi yang berbeda dengan hakikat yang sama.
1. Dunia
Apakah dunia itu kekal atau dicipatakan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Ini adalah salah satu masalah penting yang paling menentang dalam filosofis muslim Ibnu Thufail sejalan dengan kemahiran dialektisnya menghadapi masalah itu dengan tepat. Beliau tidak menganut salah satu doktrin saingannya dan juga tidak berusaha mendamaikan mereka. Dilain pihak beliau mengecam dengan pedas pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan tidak mungkin ada sebelum kejadian-kejadian yang tercipta secara lambat laun. Menurut al Ghazali, beliau mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian yang tak terpisahkan dari dunia dan karena itu kemaujudan waktu mendahului kemaujudan dunia. Segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Tidak ada sesuatupun ada sebelum Dia dan segala sesuatu pasti ada dan akan terjadi atas kehendak-Nya. Antimoni (kontradiksi antar prinsip) in dengan jelas menerangkan bahwa kemampuan nalar (Kant) ada batasnya dan argumentasinya akan mendatangkan kontradiksi yang membingungkan.
2. Tuhan
Penciptaan dunia yang lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta yang mesti bersifat immaterial sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dunia tak bisa meujud dengan sendirinya, pasti dan harus ada penciptanya. Jika Tuhan bersifat material maka akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir dan karena Dia bersifat immaterial maka kita bisa mengenali-Nya lewat indera kita atau lewat imajinasi. Sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.
3. Kosmologi Cahaya
Manifestasi kemajemukan dari satu yang dijelaskan dalam gaya Neo-Platonik yang monoton sebagai tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses tersebut pada prinsipnya sama dengan refleksi terus-menerus cahaya matahari pada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin menunjukkan kemajemukan. Semua itu merupakan pantulan cahaya matahari, bukan cahaya matahari itu sendiri juga bukan cermin itu sendiri. Hal yang sama juga pada cahaya pertama (Tuhan) bersama perwujudannya di dalam kosmos.
4. Epistomologi
Jiwa dalam tahap awal bukanlah suatu tabula rasa (teori yang menyatakan bahwa tiap individu dilahirkan dengan jiwa yang putih dan bersih) atau papan tulis kosong. Melainkan imaji Tuhan telah telah tersirat di dalamnya sejak awal tapi untuk menjadikannya tampak nyata kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka.
Pengalaman merupakan proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ ini berfungsi berkat jiwa yang ada dalam hati. Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang induktif dengan alat pembanding dan pembedanya dikelompokkan menjadi mineral, tanaman, dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu yang membuat kita menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Ibnu Thufail akhirnya berpaling kepada disiplin ilmu yang membawa kepada ekstase, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi lewat proses deduksi atau induksi melainkan secara langsung dan intuitif lewat cahaya yang ada di dalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, atau dirasakan oleh hati.
5. Etika
Bukan kebahagiaan duniawi melainkan penyatuan sepenuhnya dengan Tuhanlah yang merupakan "summum bukmun" (kebaikan tertinggi) etika. Perwujudannya setelah pengembangan akal induktif dan deduktif. Menurut de Boer manusia merupakan perpaduan suatu tubuh jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dengan demikian menggambarkan binatang, angkasa, dan Tuhan. Karena itulah pendakian jiwa terletak pada pemuasan ketiga aspek tersebut. Pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas. Kedua, menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap objek-objek hidup dan tak hidup. Ketiga, pengetahuan, kebijaksanaan, kekuasaan, kebebasan dari keinginan jasmaniyah.
6. Filsafat dan Agama
Filsafat dilain pihak merupakan bagian dari kebenaran esosentris. Ia beruoaya menafsirkan lambang-lambang agama tentang konsep-konsep imaji murni yang berpuncak pada suatu keadaan yang didalamnya terdapat esensi ketuhanan dan pengetahuannya menjadi satu. Para nabi memiliki intuisi, sumber utama pengetahuan mereka adalah wahyu Tuhan. Pengetahuan Nabi didapat secara langsung dan pribadi sedangkan pengetahuan para pengikutnya didapat dari wasiat.

Kisah Hayy ibn Yaqzhan
Cerita Hayy ibn Yaqzhan terjadi di sebuah pulau di daerah khatulistiwa yang tidak dihuni oleh manusia. Disana Hayy ditemukan sendirian sebagai seorang bayi. Beberapa filsuf berpendapat bahwa dia lahir secara spontan ketika terjadi perbauran antar elemen telah mencapai sebuah keseimbangan yang tepat, membuat perbauran ini mungkin untuk menerima sebuah jiwa dari dunia ke-ilahian. Kalangan tradisional percaya bahwa dia adalah anak dari seorang wanita yang memilih untuk menyembunyian pernikahannya dengan kerabatnya, Yaqzan, dari saudara laki-lakinya yang memerintah sebuah pulau dan tidak menemukan pasangan yang tepat untuk saudara perempuannya. Setelah menyusui Hayy, dia meletakkannya ke dalam sebuah kotak dan membuangnya ke dalam air yang membawanya ke pulau yang tak berpenghuni.
Seekor kijang betina yang baru saja kehilangan anaknya mendengar tangisan Hayy. Dia menyusui Hayy, menjaganya dari hal-hal yang berbahaya dan merawatnya sampai dia mati ketika Hayy berusia 7 tahun. Hayy belajar meniru hewan-hewan dalam berbicara dan dia menutup tubuhnya dengan dedaunan setelah menyadari bahwa tubuh hewan-hewan tersebut tertutup dengan rambut atau bulu. Kematian si kijang mengubah kehidupan Hayy dari sebuah ketergantungan menjadi sebuah eksplorasi dan penemuan.
Dalam usaha untuk mengetahui alasan kematian kijang, sebuah alasan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan mengamati penampilan fisiknya saja. Dia membelah si kijang dengan batu yang tajam dan buluh kering. Dia menyadari bahwa setiap organ tubuh mempunyai fungsi yang wajar dan terlihat di sebelah kiri lubang jantungnya kosong. Dia menyimpulkan bahwa sumber kehidupan pasti berada di lubang tersebut dan pasti telah ditinggalkannya. Dia merenungkan bagian penting tersebut yang berhubungan dengan tubuh, sumbernya, tempat dimana bagian penting tersebut telah pergi, cara kepergiannya, dan lain sebagainya. Dia menyadari bahwa bukan tubuhnya tapi entitas vital dari kijang dan sumber tindakannya. Dengan kesadaran tersebut dia kehilangan ketertarikan terhadap tubuh kijang yang kemudian ia lihat hanya sebagai sebuah alat. Selama dia belum dapat menguraikan entitas vital ini, dia menyelidiki bahwa bentuk semua kijang sama dengan bentuk ibunya. Dari sini dia berkesimpulan bahwa semua kijang telah diatur oleh sesuatu yang sama dengan entitas vital yang mengatur kematian ibunya.
Setelah penemuannya tentang kehidupan, dia menemukan api. Dia menyadari bahwa berkebalikan dengan obyek-obyek alami lainnya yang bergerak kebawah, api bergerak keatas. Ini mengindikasikan bahwa hakikat dari api berbeda dengan obyek-obyek alami lain. Dia terus menyelidiki bagian lain dari alam: organ binatang, penyusunannya, jumlah, ukuran dan posisi serta kesamaan kualitas yang dimiliki binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bergerak yang sangat tepat setiap bagiannya. Lewat penalarannya, dia memahami konsep materi dan bentuk, sebab dan akibat, kesatuan dan keragaman, serta konsep-konsep umum berkaitan dengan bumi dan langit. Dia berkesimpulan bahwa alam semesta adalah satu meskipun itu memiliki beberapa obyek, dia pindah ke pertimbangan apakah alam semesta diciptakan atau abadi. Lewat penalaran yang sangat rumit, dia menemukan bahwa baik gagasan penciptaan atau keabadian keduanya tidak ada yang lepas dari adanya keberatan. Meskipun dia tidak dapat memutuskan secara rasional apakah alam semesta diciptakan atau abadi, dia berkesimpulan bahwa pasti ada sebuah penyebab yang tetap bergantung dan bahwa penyebab ini atau 'necessary being' bersifat non fisik dan hakikatnya diatas itu, bahkan jika tidak pada waktunya
Dia juga menyimpulkan bahwa obyek dalam dirinya yang memahami penyebab ini juga bersifat non-fisik. Semakin dilepaskan obyek non-fisik dalam dirinya yang berasal dari kesadaran panca indera, semakin dekat kemampuannya untuk melihat penyebab ini, sebuah penglihatan yang memiliki kegembiraan tertinggi. Meskipun sensasi menghambat penglihatan ini, dia merasa wajib untuk meniru binatang-binatang dengan mengalami sensasi-sensasi untuk melindungi jiwa binatangnya yang akan mampu membuatnya meniru tubuh surgawi. Meniru tubuh surgawi dengan melakukan hal-hal seperti gerakan melingkar memberinya visi kontinu tetapi tidak murni.
Dengan pengetahuan tentang "necessary being", Hayy berusaha untuk meniru sifat-sifat positif dari hal tersebut. Dengan sebuah usaha untuk mentranseden dunia fisik, dia berusaha untuk meniru sifat-sifat yang negatif. Peniruan dari "necessary being" untuk tujuan ini tidak melibatkan diri dan oleh karena itu memberinya penglihatan yang murni. Tidak hanya diri atau hakikat Hayy dihapus dalam keadaan ini, tapi juga segala sesuatu selain dari "necessary being". Tidak ada penglihatan, pendengaran, atau percakapan manusia dapat memahami keadaan ini, karena itu terletak di luar dunia dan pengalaman akal. Oleh karenanya tidak ada penjelasan bahwa "necessary being" dapat diebrikan, hanya tanda-tanda saja, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Sina dalam al-Isharat wa-'l-tanbihat (Remarks and Admonitions). Seseorang yang mencari sebuah penjelasan dari keadaan ini adalah seperti seseorang yang mencari 'rasa dari warna karena mereka adalah warna-the taste of colours inasmuch as they are colours-'. Verifikasi membutuhkan pengalaman langsung. Menggunakan bahasa manusia yang dideskripsikan seperti sebuah alat yang tanggung, untuk mengisyaratkan kebenaran hayy berkata bahwa harus ada bukti dalam keadaan ini, "necessary being" menembus seluruh alam semesta seperti sinar matahari menembus seluruh dunia fisik. Mencoba untuk mengungkapkan yang tak terungkap, Ibnu Thufail mengatakan bahwa Hayy menyadari dalam kondisi ini bahwa keseluruhan adalah satu, kesatuan dalam keanekaragaman, seperti pertentangan lain, keberadaan hanya untuk tanggapan panca indera.
Di pulau sebelah, sekelompok orang termasuk sang raja, Salaman, mempraktekkan sebuah agama yang masih menyiapkan misa-misa dengan simbol-simbol, bukan kebenaran secara langsung. Absal, teman Salaman, menyelidiki ritual dari agama ini tapi bertentangan dengan mereka yang mematuhi arti harfiah dari agama itu, dia menggali kebenaran sampai kedalam. Kecenderungan secara alami untuk menyendiri, seperti yang terdapat dalam perjanjian dengan kutipan-kutipan tertentu dari Kitab Suci, Absal pindah ke pulau dimana Hayy tinggal. Ketika dia bertemu dengan Hayy, dia merasa takut sampai Hayy menjelaskan bahwa dia tidak mempunyai maksud jahat. Absal lalu mengajari Hayy bahasa manusia dengan menunjuk ke sebuah obyek sambil mengatakan kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dengan bahasa yang ia dapat, Hayy mampu untuk menjelaskan pada Absal tentang pengetahuan-pengetahuan yang didapatnya. Mendengar hal tersebut, Absal menyadari bahwa apa yang telah disaksikan Hayy adalah kenyataan-kenyataan yang digambarkan dalam agamanya: Tuhan, malaikat, kitab suci, nabi, akhirat dan lain sebagainya. Ketika Absal membicarakan kebenaran-kebenaran dalam agamanya, Hayy juga menemukan kebenaran-kebenaran ini sesuai dengan apa yang telah dia ketahui. Akan tetapi, Hayy tidak dapat mengerti mengapa agama Absal menggunakan simbol-simbol dan membolehkan indulgensi dalam obyek-obyek material.
Hayy mengungkapkan ketertarikannya untuk mengunjungi pulau seberang untuk menjelaskan pada penduduknya tentang kebenaran yang sejati. Absal, yang tahu kondisi pulaunya, enggan untuk menemaninya. Berhadapan dengan kelompok yang paling cerdas di pulau tersebut, Hayy menunjukkan rasa hormatnya sampai dia mencoba untuk melampaui makna harfiah dari Kitab suci mereka. Orang-orang mulai menjauhinya, mengalihkan perhatian mereka dari kabenaran dengan aktivitas perdagangan. Hayy kemudian mengerti bahwa orang-orang tidak mampu untuk memahami kebenaran sejati dan agama tersebut dibutuhkan untuk kestabilan sosial dan kemanan mereka. Kestabilan sosial dan keamana, akan tetapi, tak ada jalan keselamatan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Hanya obsesi ke-ilahian, yang langka dijumpai diantara orang-orang ini, yang dapat menyediakan jalan keselamatan kebahagiaan akhirat. Sebaliknya, obsesi keduniaan yang dianut oleh sebagian bersar orang-orang ini akan membiarkan diri mereka berakhir dalam kegelapan atau neraka.
Sementara kebenaran akal dan wahyu adalah sama, sebagian besar dari mereka mengikuti pilihan yang kedua, melakukannya untuk kesuksesan duniawi dan karenanya mengalami kesengsaraan akhirat. Menyadari bahwa usahanya untuk memberikan pencerahan pada orang-orang ini hanya akan menurunkan stabilitas mereka tanpa mempersiapkan mereka untuk suatu kebahagiaan, Hayy meminta masyarakat untuk melanjutkan aktivitas agama mereka, memperingatkan mereka hanya terhadap kegemaran mereka terhadap hal-hal duniawi. Hayy dan Absal kemudian kembali ke pulau kosong untuk mempraktekkan ilmu mereka dalam keterasingan.
Ibnu Thufail mengakhirkan ceritanya dengan menggambarkannya seperti 'menyediakan sepotong pembahasan yang tidak ditemukan dalam sebuah buku atau didengar dalam pembicaraan'. Bagaimana hal ini harus dimengerti ketika beliau sebelumnya telah mengatakan pada kita di pendahuluan bahwa hasil karyanya ini adalah sebuah elaborasi dari kebijaksanaan oriental Ibnu Sina? Mungkin jawabannya dapat ditemukan dalam penegasan Ibnu Thufail tentang keunikan dari 'pembahasan' atau 'pembicaraan' tertentu, bukan di dalam keunikan dari isinya. Jika demikian, keaslian karya akan tampak terletak hanya dalam bentuknya.

Akhir Hidup
Ibnu Tufail meninggal dunia pada tahun 1185 M di Maroko. Hingga kini, namanya tetap abadi lewat karya tulis yang dihasilkannya. Dunia Barat tetap menghormati dan mengaguminya sebagai seorang ilmuwan hebat. Sayangnya, justru peradaban Islam yang kerap melupakan jasa-jasa ilmuwan Muslim di era keemasannya. Peradaban Islam modern lebih takjub pada ilmuwan-ilmuwan Barat yang se jatinya belajar dari ilmuwan Muslim. Tak heran jika generasi muda Muslim lebih mengetahui ilmuwan Barat dibandingkan ilmuwan Islam. Sosok Ibnu Thufail sangat penting untuk dikaji dan di perkenalkan kepada generasi muda Islam. Sehingga mereka bisa bangga dan meniru jejak perjuangannya.

Category:

1 comments:

Lara said...

Thank you.

Post a Comment